“Enak yah mas, duduk di sini? Anginnya semilir apalagi pemandangan dibawah begitu indah. Banyak lampu mobil yang berjalan dan kita berada dibawah terangnya lampu jalan”, seru Etty (bukan sama sebenarnya) kepada Eddy, pacarnya.
Apa yang dilakukan Etty adalah realita percintaan sebagian pengendara motor jaman sekarang. Mereka berdua sedang merajut cinta diatas jembatan layang. MotoDream menyebutnya “Jembatan Cinta.” Iya, di tempat inilah banyak pasangan muda-mudi memadu kasih. Mereka umumnya pengendara motor yang sejak pulang dari tempat kerja atau rumah sudah niat nongkrong disini. Lho? Dimana sebenarnya mereka berada? Tepatnya mereka parkir, persis berada di pinggir jalan diatas jembatan layang.
Lihat bagaimana Etty diajak Edy (bukan nama sebenarnya) pacaran diatas jembatan layang di daerah Pasar Rebo Jakarta Timur. Mereka berdua boncengan naik motor dari tempat kerja Eddy di kawasan Jakarta Pusat. Edy adalah pegawai di sebuah perusahaan BUMN di Jakarta dan Etty hanya pegawai swasta. Malam itu sekitar jam setengah 8 malam Etty & Eddy sampai di jembatan layang yang menghubungkan jalan Kramat Jati menuju daerah Cibubur.
Mereka berdua bicara berbisik mesra seolah tak ingin orang lain tahu apa yang dibicarakan. Sesekali rambut Etty tertiup angin dari bis dan mobil yang melintas kencang. Lampu mobil itu terlihat beberapa kali mengedipkan lampu dim memberi peringatan untuk tidak parkir di pinggir jembatan. Bisa jadi sang mobil terkejut begitu menanjak jembatan dengan kecepatan tinggi tiba-tiba diatas jembatan banyak motor parkir. Bukan hanya mobil yang memberikan peringatan. Ada juga bis Metromini yang menyalakan klakson mengingatkan pengendara motor yang parkir di pinggir jembatan layang.
Etty dan Edy cuek aja. Tak peduli bahasa apa yang dikatakan oleh pengguna jalan yang lain. Tak lama kemudian datang dua orang pengamen. Namanya juga pengamen, “Permisi…” tak lama lagu ST12 dilantunkan oleh duet pengamen ini. Merasa di-cuekin, pengamen itu mencari pelanggan lain. Kemudian datang lagi tukang asongan. Tukang ini menawarkan rokok. “Bang buah, rujak! Sini!” seru Edy memanggil tukang buah yang jualan di diatas jembatan layang juga. Tukang asongan pun pergi dan tukang buah pun datang menghampiri Etty dan Edy.
Sementara itu datang lagi pengendara motor yang lainnya. Mereka adalah pasangan yang lebih muda. Kali ini mereka mengambil posisi yang lebih tinggi di jembatan tersebut. Semakin tinggi atau semakin ditengah posisi berarti semakin bagus view yang ditawarkan. Bukan main memang. Rasanya seperti Motobikers berada di hotel dan mendapatkan kamar di lantai 5 dengan pemandangan cantik dari balkon kamar. Tapi kalau di hotel kan bayar? Nah, salah satu tujuan Etty dan Edy datang ke Jembatan Cinta karena gratis tak perlu bayar untuk mendapatkan pemandangan yang cantik.
Full Music Plus Jajanan
Jembatan Cinta menawarkan tak hanya pemandangan cantik. Di tempat ini memberikan pelayanan jajanan kaki lima yang cukup untuk menggajal perut. Coba bayangkan, disini ada penjual bakso, tukang kelontong keliling dan pastinya tukang buah. Untuk buah-buahan seperti semangka, nanas, melon dan pepaya dibandrol Rp.1.500,-. Sedangkan untuk jajan bakso harganya juga relatif terjangkau yaitu Rp.6.000,- per mangkok. Sedangkan harga rokok dan teman-temannya masih mengikuti mekanisme pasar alias pedagang tidak ambil untung besar meski risiko kecelakaan tersambar mobil lebih besar.
Buat Anim (bukan nama sebenarnya) berjualan di pinggir jalan diatas jembatan layang adalah prospek yang bagus. Melihat ‘kunjungan’ pengendara motor yang semakin banyak semakin malam membuat dagangan cepat habis, laris manis. Rasa takut yang dimiliki Anim dikalahkan dengan uang yang ia kantongi. “Abis gimana yah? Namanya juga cari uang buat makan? Disini enak, banyak yang nongkrong. Biasanya jajan buah atau rujak. Rata-rata tukang buah juga jualan disini dan semuanya temen saya” begitu jelas Anim pada MotoDream. Rata-rata Anim menjual habis dagangannya dalam semalam. Kalaupun lagi sial, itu karena Anim dikejar-kejar kamtib karena dagang sembarangan.
Sedangkan kalau makan bakso, pasti cepat dilahap. Pasalnya begitu bakso dihidangkan panas-panas dijamin cepat dingin karena besarnya angin yang berhembus diatas jembatan. Gaya makan pun berbeda dengan makan diwarung bakso karena bisa sambil duduk diatas jok motor.
Kisah Etty & Edy bukan sampai disitu saja. Sebenarnya mereka sudah lama menjadi penduduk “Jembatan Cinta”. “Kita sudah lama nongkrong disini. Jaman jalan di bawah jembatan ini belum di aspal kita sudah pacaran disini. Yah, ada deh sekitar 3 tahun lalu, kita datang kemari” seru Eddy penuh semangat. Sejoli inipun menceritakan bagaimana mereka sempat bertengkar karena cinta. Klop kan? Bukan hanya manis madu tapi juga pahitnya cinta disaksikan “Jembatan Cinta”. Itulah kesan yang didapat Eddy dan Edy dari “Jembatan Cinta”.
Sesekali sejoli ini pernah pengalaman diusir aparat. Tapi justru itulah seninya. Kewaspadaan terhadap aparat yang merazia menjadi ciri khas “Jembatan Cinta.” Makanya jangan heran jika melihat perilaku pengendara motor di jembatan ini. Begitu terdengar bunyi sirene seluruh pengendara motor yang ada disini mengambil posisi standby. Kunci kontak yang tadinya dalam posisi OFF langsung masuk posisi ON. Jadi jika benar ada aparat datang mereka tinggal start dan langsung buron. Sama seperti yang terjadi semalam. Sirene berbunyi dikejauhan. Spontan membuat penghuni Jembatan Cinta menjadi waspada. Tapi begitu yang lewat sirene dari ambulan, mereka pun bersikap santai dan rileks kembali.
Risiko Tanggung Sendiri
Buat sejoli seperti Etty dan Edy nongkrong di “Jembatan Cinta” adalah kisah romants percintaan. Tapi buat pengguna jalan lain kehidupan di “Jembatan Cinta” adalah ironi. Jika Motobikers melewati jalan ini untuk pertama kali, boleh jadi menarik hati untuk berhenti sebentar. Pasalnya seperti terjadi sesuatu hingga membuat orang berkumpul. Tapi faktanya, jika Motobikers turun dari motor dan berdiri dipinggir jalan jembatan adalah risiko baru. Jarak antara pengendara motor dengan kendaraan yang melintas di Jembatan Cinta kurang 1 meter! Apalagi kendaraan yang lewat sebagian adalah bis dan sedan dengan kecepatan rata-rata 70Km/jam.
Menjelang jam 8 malam, Etty dan Edy sudah bergegas pulang. Edy kembali mengenakan lagi jaketnya dan menghidupkan mesin motor. Keduanya bersiap meneruskan perjalanan pulang menuju rumahnya di Bogor yang berjarak 60Km dari Jakarta. Bagi Etty dan Edy, semalam di atas “Jembatan Cinta” selalu membuat cinta semakin besar, meski risiko kecelakaan tersambar bis dan mobil bisa memisahkan hidup keduanya.
Jumat, 24 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar